Minggu, 31 Maret 2013

Pengobatan Holistik Warisan Rasulullah SAW


Seiring dengan berkembangnya dunia medis modern, muncul sebuah wacana tentang efektivitas pengobatan “tradisional”. Tentu, ketika “tradisional” ini muncul maka akan terdapat berbagai definisi. Beberapa kalangan mungkin mengklasifikasikannya sebagai pengobatan “Barat” dan “timur”.

 Seringkali pengklasifikasian itu berdasarkan  ilmiah  tidaknya suatu pengobatan, serta apakah suatu metode pengobatan itu sudah melalui rangkaian uji ilmiah atau tidak. Dalam prakteknya, seringkali pengobatan yang ilmiah diklasifikasikan sebagai pengobatan “barat”, dan pengobatan yang lebih banyak melalui studi empirik maka ia digolongkan sebagai pengobatan “timur”. Namun bagaimanakah posisi kedokteran ala Rasulullah SAW berada?

Adalah sebuah keniscayaan bahwa setidaknya terdapat beberapa hal yang patut dicermati dalam perbandingan praktek kedokteran Rasulullah dengan praktek kedokteran modern ketika kedua  jenis pengobatan yang seakan berbeda itu dibandingkan antara satu dengan lainnya.

Perbedaan pertama muncul dari segi filosofinya. Filsafat pengobatan modern kebanyakan adalah tentang bagaimana mengobati suatu gangguan langsung dari penyebab fisiknya dan akan diobati dengan menggunakan zat-zat kimia yang pada umumnya tidak alami. Maka tidak akan menjadi sesuatu yang aneh apabila terjadi gangguan dalam tubuh, maka akan digunakan berbagai macam upaya, bahkan yang tidak alami, untuk mengobati penyakit tersebut, yang berpotensi mengundang pelbagai permasalahan bagi tubuh nantinya.

Adapun pengobatan ala Rasulullah SAW, maka filosofinya memiliki beberapa perbedaan dengan pengobatan modern yang umumnya ada. Filosofi pengobatan ala Rasulullah berasal dari sebuah premis bahwa sebuah gangguan memiliki asal masalah yang dimensinya lebih daripada sekadar dimensi fisik. Hal ini akan sangat terlihat bahwa pengobatan ala Rasulullah tidak hanya berfokus mengenai bagaimana mengobati gangguan hanya dalam dimensi fisik, namun juga menyelami dimensi psikis seseorang dengan adanya penekanan-penekanan untuk ber-taqarrub ilallah agar psikis merasa tenang.

Walaupun sekilas terlihat bahwa pengobatan ala Rasulullah SAW kuno dan tidak berkhasiat, ada fakta yang menakjubkan bahwa pengobatan ala Rasulullah dapat diterima oleh ilmu pengobatan secara ilmiah dan logika serta dapat dibuktikan dengan prinsip Evidence Based Medicine (EBM), sedangkan ilmu-ilmu seperti ilmu kedokteran belum berkembang pada masa Rasulullah. 

            Salah satu pengobatan kuratif yang biasa digunakan oleh Rasulullah SAW  adalah dengan berbekam. Dalam shahih Bukhari Muslim  dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam dan membayar tukang bekam. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Pengobatan terbaik bagi kamu adalah bekam.”

Ada sebuah penelitian mengeai efektivitas terapi bekam di Jerman yang dilakukan oleh Michalsen A, Bock S, Ludtke R, dkk pada tahun 2009 dengan metode RCT (Randomized Controlled Trial) yang laporannya diterbitkan dalam The Journal of Pain dengan judul “The Effects of Traditional Cupping Therapy”, menunjukkan bahwa teknik penyedotan ekternal yang terutama banyak digunakan di luar AS, efektif untuk mengurangi sementara keluhan rasa sakit dari Sindrom Terowongan Karpal /  Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

Dalam prosesnya, peneliti dari rumah sakit Immanuel Berlin tersebut membagi secara acak lima puluh dua pasien CTS ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan mendapat perlakuan terapi bekam  basah di atas permukaan otot trapezius (musculus trapezius) kemudian diberikan 5-10 menit tusukan menggunakan lancet steril. Setelah kop bekam diletakkan di atas permukaan kulit lalu dilakukan sebuah vakum parsial menggunakan alat hisap Elektromekanik ataupun manual dengan pompa. Bekam biasanya dilakukan pada wilayah “segitiga bahu ( shoulder triangle)” yang di mana merupakan tempat jaringan ikat di daerah bahu leher. Cara ini diyakini dapat meningkatkan mikrosirkulasi darah sehingga membantu meringankan gejala CTS. Dan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien CTS yang mendapatkan terapi bekam  mengalami penurunan keluhan nyeri dan gejala lainnya yang sangat signifikan.  Posisi anatomis yang dilakukan oleh peneliti ini tidak jauh berbeda dengan posisi anatomis berbekam  Rasulullah SAW.  Anas berkata, “Rasulullah SAW biasa berbekam pada dua pembuluh leher dan bagian atas punggung”.

Salah satu poin lainnya yang patut ditelisik adalah pengobatan ala Rasulullah yang  tidak hanya sebatas tindakan kuratif seperti mengobati penyakit saja, namun juga secara preventif. Adapun Rasulullah SAW menunjukkan tindakan preventif terhadap kondisi sakit melalui segala aktivitasnya, mulai dari cara makan, cara berpakaian, tidur  dan lain-lain. Hal ini salah satunya bisa terlihat dalam bagaimana Rasulullah mencontohkan cara berbaring yang dianjurkan. Dalam Shahihain diriwayatkan Barra’ bin Azib berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila kalian hendak tidur, berwudhuluah seperti wudhu untuk shalat kemudian berbaringlah pada lambung kananmu dan bacalah do’a. Cara tidur  Rasulullah SAW ini memiliki manfaat bagi kesehatan apabila ditinjau dari sisi medis, salah satunya dalam  sistem pencernaan. Tidur dengan posisi berbaring miring ke kanan akan mempercepat pengosongan lambung atau  gastric emptying, sehingga makanan akan cepat sampai ke usus dan dapat segera diabsorpsi. 

Selain itu ada pula hadits yang berbunyi “Makanlah saat lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang.” Hadits tersebut menurut Syaikh Bin Baz merupakan hadits dha’if , maknanya benar akan tetapi sanadnya lemah. Namun begitu terdapat pesan yang terkait dengan nasehat Rasulullah SAW mengenai etika saat makan. Yaitu disarankannya menyisakan 1 per 3 bagian lambung  untuk kosong setelah menghabiskan makanan, karena berlebih-lebihan dalam makan dapat membahayakan tubuh. Perumpamaannya ialah blender atau mixer yang diisi penuh lalu dinyalakan. Lihat apa yang terjadi, bisa dipastikan blender tersebut akan rusak atau bahkan isi dari blender tersebut akan terhambur tidak karuan. Namun lambung bukanlah blender atau  mixer semata, namun juga penghalus dan food processor. Dan bahkan memiliki fungsi fisiologis yang lebih dari itu semua. Sangat rasional bila Rasulullah SAW menyarankan manusia agar tidak berlebih-lebihan dalam makan. 

Praktek kedokteran pada masa Rasulullah SAW tidak terlepas dari aktivitas ibadah umat muslim yang merupakan perintah Allah SWT.  Ibnu Maja dalam Sunnan-nya menceritakan bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW melihatku sewaktu aku berbaring menderita penyakit dalam perut. Beliau berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, apakah perutmu sakit (Beliau menyebut istilah penyakit itu dalam bahasa Persia)?’ Saya jawab, ‘Ya, Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Berdirilah dan kerjakan shalat, karena shalat adalah obat.”

Dalam shalat  kita akan membaca ayat-ayat suci alqur’an, atau dalam berjamaah kita akan mendengar bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bacaan al-Qur’an dapat menenangkan hati dan pikiran. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh dr. Ahmed E. Kadi dan asosiasinya, yang menunjukkan bahwa membaca atau mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an dapat menurunkan tekanan darah, frekuensi detak jantung, dan menyebabkan relaksasi pada otot jantung, hal ini tidak hanya terjadi pada mereka yang muslim arab dan muslim non arab, namun juga pada mereka yang non muslim yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa shalat yang khusyuk merupakan salah satu aktivitas saraf parasimpatik, karena menurunnya tekanan darah, menurunnya frekuensi detak jantung, dan relaksasi otot jantung merupakan perngaruh dari saraf otonom parasimpatik. 

Ada sebuah artikel yang menyebutkan bahwa sesungguhnya penyakit merupakan suatu irama untuk mencapai keseimbangan tubuh atau yang dikenal dengan homeostasis. Secara filosofis, penyakit-penyakit tersebut hadir sebagai obat bagi manusia untuk menyadarkan manusia agar kembali ke jalan yang benar dan sebagai bentuk intropeksi bahwa begitu mudahnya Allah memberikan balasan bagi-orang-orang yang melampaui batas.

Praktek kedokteran Rasulullah SAW tidak hanya melihat pada satu dimensi, yaitu fisik, melainkan juga menilik pada sisi rohani,  yaitu hati yang menurut beliau merupakan penentu datangnya sebuah penyakit dan penentu parah  tidaknya derajat penyakit seseorang. 

Dari buku “Miracle of Endorphin” menyebutkan bahwa hormon adrenalin itu muncul saat ada kebencian di dalam hati. Itulah sebab tabib asal Mesir yang dikirim tuk kaum Rasulullah pada zamannya bergegas pulang setelah 1 tahun ia tidak mendapati satupun kaum Rasulullah yang sakit. Tidak hanya Al-Qur’an, Rasulullah pun mengajarkan umatnya untuk selalu menghadirkan kedamaian dalam hati dan membuang jauh-jauh rasa kebencian dalam kelangsungan hidup di dunia ini. 

Bahwa hati yang damai itu adalah obat kesembuhan bagi segala penyakit. Dan islam itu mengajarkan bahwa kita harus tidak membenci saudara kita, dan itulah yang menyebabkan pengobatan Islam dipandang dan dirasa berbeda dengan pengobatan barat pada abad pertengahan tepatnya pada masa kekhalifahan Abassiyah (Turki Saljuk), di mana metode pengobatan itu tidak hanya merujuk pada problem bagaimana mengobati orang secara fisik, namun bagaimana mengobati orang itu dari dalam, yaitu dari lingkup perasaannya. Pernah ada seorang ilmuwan Islam bernama Ibnu Sina, beliau sangat dikenal akan ilmu kedokterannya. Suatu ketika ia pernah dimintai tolong oleh seseorang untuk menyembuhkan seorang yang sakit parah, kemudian setelah dilakukan pemeriksaan ia berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan orang ini, karena orang ini memiliki begitu banyak kebencian di dalam hatinya”.

Apa yang diyakini oleh Ibnu Sina dalam praktek kedokterannya tidak sedikitpun berbeda dengan apa yang diyakini oleh Rasulullah mengenai asal mula dari suatu penyakit. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, yang apabila dia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati.

Pada praktek kedokteran Rasulullah SAW, pengobatan dilakukan juga dengan memperhatikan aspek kenyamanan pasien seperti tingkat rasa sakit dalam pengobatan dan aspek psikologis pasien. Sehingga jika kita mengingat kembali praktek kedokteran pada masa Rasulullah SAW yang sangat menjunjung tinggi  nilai-nilai kemanusiaan, akan terasa kontras dengan keadaan sekarang yang dirasa hanya mengedepankan aspek kesehatan jasmani. Terdapat aspek keterbukaan dan juga aspek pendekatan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW di setiap tindakan pengobatan. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam bukunya menuliskan bahwa biasanya Rasulullah SAW menanyakan kepada si sakit apa yang dikeluhkan dan apa yang dirasakan. Beliau juga menanyakan apa yang menjadi keinginannya dan meletakkan tangannya di dahi atau dada orang yang sakit, kemudian memohon kepada Allah bagi kebaikan si sakit lalu memberikan resep obat bagi penyakitnya. Sehingga orang yang sakit akan tersemangati dan optimis untuk sebuah kesembuhan.

Dan kini yang menjadi polemik umum di kalangan muslimin adalah, mengapa praktek  kedokteran Rasulullah ditinggalkan. Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan bagi para ilmuwan kedokteran muslim saat ini, tetapi juga para kaum muslimin pada umumnya yang lebih memilih pengobatan barat yang dipandang memiliki nilai lebih dari segi kemajuan teknologi dan teorinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hambatan yang ada pada para ilmuwan kedokteran muslim ialah kurangnya referensi yang dapat mengantarkan pada rahasia kedokteran Rasulullah SAW dan juga minimnya minat para ilmuwan kedokteran muslim saat ini dalam membuktikan atau meneliti warisan pada masa Rasulullah itu risan  dari praktek kedokteran Rasulullah itu sendiri. Tidak seharusnya warisan praktek kedokteran Rasulullah SAW itu di hak-miliki oleh ilmuwan barat yang kafir. Tidak mungkin mengutuk takdir masa lalu atas dibakar dan dibuangnya buku-buku karya ilmuwan Islam di Andalusia  ke Laut Hitam. Umat Islam pernah berjaya, dan akan berjaya kembali di masa mendatang.

Jeanny Dwi Adriyanti