Seiring dengan berkembangnya dunia
medis modern, muncul sebuah wacana tentang efektivitas pengobatan
“tradisional”. Tentu, ketika “tradisional” ini muncul maka akan terdapat
berbagai definisi. Beberapa kalangan mungkin mengklasifikasikannya sebagai
pengobatan “Barat” dan “timur”.
Seringkali pengklasifikasian itu berdasarkan ilmiah tidaknya
suatu pengobatan, serta apakah suatu metode pengobatan itu sudah melalui
rangkaian uji ilmiah atau tidak. Dalam prakteknya, seringkali pengobatan yang
ilmiah diklasifikasikan sebagai pengobatan “barat”, dan pengobatan yang lebih
banyak melalui studi empirik maka ia digolongkan sebagai pengobatan “timur”.
Namun bagaimanakah posisi kedokteran ala Rasulullah SAW berada?
Adalah sebuah
keniscayaan bahwa setidaknya terdapat beberapa hal yang patut dicermati dalam perbandingan
praktek kedokteran Rasulullah dengan praktek kedokteran modern ketika kedua jenis pengobatan yang seakan berbeda itu
dibandingkan antara satu dengan lainnya.
Perbedaan
pertama muncul dari segi filosofinya. Filsafat pengobatan modern kebanyakan
adalah tentang bagaimana mengobati suatu gangguan langsung dari penyebab
fisiknya dan akan diobati dengan menggunakan zat-zat kimia yang pada umumnya
tidak alami. Maka tidak akan menjadi sesuatu yang aneh apabila terjadi gangguan
dalam tubuh, maka akan digunakan berbagai macam upaya, bahkan yang tidak alami,
untuk mengobati penyakit tersebut, yang berpotensi mengundang pelbagai
permasalahan bagi tubuh nantinya.
Adapun pengobatan
ala Rasulullah SAW, maka filosofinya memiliki beberapa perbedaan dengan
pengobatan modern yang umumnya ada. Filosofi pengobatan ala Rasulullah berasal
dari sebuah premis bahwa sebuah gangguan memiliki asal masalah yang dimensinya
lebih daripada sekadar dimensi fisik. Hal ini akan sangat terlihat bahwa
pengobatan ala Rasulullah tidak hanya berfokus mengenai bagaimana mengobati
gangguan hanya dalam dimensi fisik, namun juga menyelami dimensi psikis
seseorang dengan adanya penekanan-penekanan untuk ber-taqarrub ilallah agar
psikis merasa tenang.
Walaupun sekilas
terlihat bahwa pengobatan ala Rasulullah SAW kuno dan tidak berkhasiat, ada
fakta yang menakjubkan bahwa pengobatan ala Rasulullah dapat diterima oleh ilmu
pengobatan secara ilmiah dan logika serta dapat dibuktikan dengan prinsip Evidence Based Medicine (EBM), sedangkan
ilmu-ilmu seperti ilmu kedokteran belum berkembang pada masa Rasulullah.
Salah
satu pengobatan kuratif yang biasa digunakan oleh Rasulullah SAW adalah dengan berbekam. Dalam shahih Bukhari Muslim dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW pernah berbekam dan membayar tukang bekam. Rasulullah SAW
kemudian bersabda, “Pengobatan terbaik bagi kamu adalah bekam.”
Ada sebuah
penelitian mengeai efektivitas terapi bekam di Jerman yang dilakukan oleh
Michalsen A, Bock S, Ludtke R, dkk pada tahun 2009 dengan metode RCT (Randomized Controlled Trial) yang laporannya
diterbitkan dalam The Journal of Pain
dengan judul “The Effects of Traditional
Cupping Therapy”, menunjukkan bahwa teknik penyedotan ekternal yang
terutama banyak digunakan di luar AS, efektif untuk mengurangi sementara
keluhan rasa sakit dari Sindrom Terowongan Karpal / Carpal
Tunnel Syndrome (CTS).
Dalam prosesnya,
peneliti dari rumah sakit Immanuel Berlin tersebut membagi secara acak lima
puluh dua pasien CTS ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok
perlakuan mendapat perlakuan terapi bekam basah di atas permukaan otot trapezius
(musculus trapezius) kemudian diberikan 5-10 menit tusukan menggunakan lancet
steril. Setelah kop bekam diletakkan di atas permukaan kulit lalu dilakukan
sebuah vakum parsial menggunakan alat hisap Elektromekanik ataupun manual
dengan pompa. Bekam biasanya dilakukan pada wilayah “segitiga bahu ( shoulder
triangle)” yang di mana merupakan tempat jaringan ikat di daerah bahu leher.
Cara ini diyakini dapat meningkatkan mikrosirkulasi darah sehingga membantu
meringankan gejala CTS. Dan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien CTS
yang mendapatkan terapi bekam mengalami
penurunan keluhan nyeri dan gejala lainnya yang sangat signifikan. Posisi anatomis yang dilakukan oleh peneliti
ini tidak jauh berbeda dengan posisi anatomis berbekam Rasulullah SAW. Anas berkata, “Rasulullah SAW biasa berbekam pada dua pembuluh leher dan bagian atas
punggung”.
Salah satu poin
lainnya yang patut ditelisik adalah pengobatan ala Rasulullah yang tidak hanya sebatas tindakan kuratif seperti
mengobati penyakit saja, namun juga secara preventif. Adapun Rasulullah SAW
menunjukkan tindakan preventif terhadap kondisi sakit melalui segala
aktivitasnya, mulai dari cara makan, cara berpakaian, tidur dan lain-lain. Hal ini salah satunya bisa
terlihat dalam bagaimana Rasulullah mencontohkan cara berbaring yang
dianjurkan. Dalam Shahihain diriwayatkan Barra’ bin Azib berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, ‘Apabila kalian hendak
tidur, berwudhuluah seperti wudhu untuk shalat kemudian berbaringlah pada
lambung kananmu dan bacalah do’a. Cara tidur Rasulullah SAW ini memiliki manfaat bagi
kesehatan apabila ditinjau dari sisi medis, salah satunya dalam sistem pencernaan. Tidur dengan posisi berbaring
miring ke kanan akan mempercepat pengosongan lambung atau gastric
emptying, sehingga makanan akan
cepat sampai ke usus dan dapat segera diabsorpsi.
Selain itu ada pula hadits yang
berbunyi “Makanlah saat lapar dan
berhentilah makan sebelum kenyang.” Hadits tersebut menurut Syaikh Bin Baz
merupakan hadits dha’if , maknanya benar akan tetapi sanadnya lemah. Namun
begitu terdapat pesan yang terkait dengan nasehat Rasulullah SAW mengenai etika
saat makan. Yaitu disarankannya menyisakan 1 per 3 bagian lambung untuk kosong setelah menghabiskan makanan,
karena berlebih-lebihan dalam makan dapat membahayakan tubuh. Perumpamaannya
ialah blender atau mixer yang diisi penuh lalu dinyalakan. Lihat apa yang
terjadi, bisa dipastikan blender tersebut akan rusak atau bahkan isi dari
blender tersebut akan terhambur tidak karuan. Namun lambung bukanlah blender
atau mixer semata, namun juga penghalus dan food processor. Dan bahkan memiliki fungsi fisiologis yang lebih
dari itu semua. Sangat rasional bila Rasulullah SAW menyarankan manusia agar
tidak berlebih-lebihan dalam makan.
Praktek kedokteran pada masa
Rasulullah SAW tidak terlepas dari aktivitas ibadah umat muslim yang merupakan
perintah Allah SWT. Ibnu Maja dalam
Sunnan-nya menceritakan bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW melihatku
sewaktu aku berbaring menderita penyakit dalam perut. Beliau berkata, ‘Wahai
Abu Hurairah, apakah perutmu sakit (Beliau menyebut istilah penyakit itu
dalam bahasa Persia)?’ Saya jawab, ‘Ya, Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Berdirilah dan kerjakan shalat, karena
shalat adalah obat.”
Dalam shalat kita akan membaca ayat-ayat suci alqur’an,
atau dalam berjamaah kita akan mendengar bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an.
Bacaan al-Qur’an dapat menenangkan hati dan pikiran. Hal ini dibuktikan dengan penelitian
yang dilakukan oleh dr. Ahmed E. Kadi dan asosiasinya, yang menunjukkan bahwa
membaca atau mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an dapat menurunkan tekanan darah,
frekuensi detak jantung, dan menyebabkan relaksasi pada otot jantung, hal ini
tidak hanya terjadi pada mereka yang muslim arab dan muslim non arab, namun
juga pada mereka yang non muslim yang termasuk dalam kriteria inklusi
penelitian ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa shalat yang khusyuk merupakan
salah satu aktivitas saraf parasimpatik, karena menurunnya tekanan darah,
menurunnya frekuensi detak jantung, dan relaksasi otot jantung merupakan
perngaruh dari saraf otonom parasimpatik.
Ada sebuah artikel yang menyebutkan
bahwa sesungguhnya penyakit merupakan suatu irama untuk mencapai keseimbangan
tubuh atau yang dikenal dengan homeostasis.
Secara filosofis, penyakit-penyakit tersebut hadir sebagai obat bagi manusia
untuk menyadarkan manusia agar kembali ke jalan yang benar dan sebagai bentuk
intropeksi bahwa begitu mudahnya Allah memberikan balasan bagi-orang-orang yang
melampaui batas.
Praktek kedokteran
Rasulullah SAW tidak hanya melihat pada satu dimensi, yaitu fisik, melainkan
juga menilik pada sisi rohani, yaitu hati
yang menurut beliau merupakan penentu datangnya sebuah penyakit dan penentu parah
tidaknya derajat penyakit seseorang.
Dari buku “Miracle of Endorphin”
menyebutkan bahwa hormon adrenalin itu muncul saat ada kebencian di dalam hati.
Itulah sebab tabib asal Mesir yang dikirim tuk kaum Rasulullah pada zamannya
bergegas pulang setelah 1 tahun ia tidak mendapati satupun kaum Rasulullah yang
sakit. Tidak hanya Al-Qur’an, Rasulullah pun mengajarkan umatnya untuk selalu
menghadirkan kedamaian dalam hati dan membuang jauh-jauh rasa kebencian dalam
kelangsungan hidup di dunia ini.
Bahwa hati yang damai itu adalah
obat kesembuhan bagi segala penyakit. Dan islam itu mengajarkan bahwa kita
harus tidak membenci saudara kita, dan itulah yang menyebabkan pengobatan Islam
dipandang dan dirasa berbeda dengan pengobatan barat pada abad pertengahan
tepatnya pada masa kekhalifahan Abassiyah (Turki Saljuk), di mana metode
pengobatan itu tidak hanya merujuk pada problem bagaimana mengobati orang
secara fisik, namun bagaimana mengobati orang itu dari dalam, yaitu dari
lingkup perasaannya. Pernah ada seorang ilmuwan Islam bernama Ibnu Sina, beliau
sangat dikenal akan ilmu kedokterannya. Suatu ketika ia pernah dimintai tolong
oleh seseorang untuk menyembuhkan seorang yang sakit parah, kemudian setelah
dilakukan pemeriksaan ia berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan orang ini,
karena orang ini memiliki begitu banyak kebencian di dalam hatinya”.
Apa yang diyakini oleh Ibnu Sina
dalam praktek kedokterannya tidak sedikitpun berbeda dengan apa yang diyakini
oleh Rasulullah mengenai asal mula dari suatu penyakit. Seperti diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim, Rasulullah bersabda, “Ketahuilah
sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, yang apabila dia baik,
maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati.
Pada praktek
kedokteran Rasulullah SAW, pengobatan dilakukan juga dengan memperhatikan aspek
kenyamanan pasien seperti tingkat rasa sakit dalam pengobatan dan aspek
psikologis pasien. Sehingga jika kita mengingat kembali praktek kedokteran pada
masa Rasulullah SAW yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, akan terasa kontras
dengan keadaan sekarang yang dirasa hanya mengedepankan aspek kesehatan jasmani.
Terdapat aspek keterbukaan dan juga aspek pendekatan yang dimiliki oleh
Rasulullah SAW di setiap tindakan pengobatan. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam
bukunya menuliskan bahwa biasanya Rasulullah SAW menanyakan kepada si sakit apa
yang dikeluhkan dan apa yang dirasakan. Beliau juga menanyakan apa yang menjadi
keinginannya dan meletakkan tangannya di dahi atau dada orang yang sakit,
kemudian memohon kepada Allah bagi kebaikan si sakit lalu memberikan resep obat
bagi penyakitnya. Sehingga orang yang sakit akan tersemangati dan optimis untuk
sebuah kesembuhan.
Dan kini yang
menjadi polemik umum di kalangan muslimin adalah, mengapa praktek kedokteran Rasulullah ditinggalkan.
Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan bagi para ilmuwan kedokteran muslim saat
ini, tetapi juga para kaum muslimin pada umumnya yang lebih memilih pengobatan
barat yang dipandang memiliki nilai lebih dari segi kemajuan teknologi dan
teorinya.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hambatan yang ada pada para ilmuwan kedokteran muslim
ialah kurangnya referensi yang dapat mengantarkan pada rahasia kedokteran
Rasulullah SAW dan juga minimnya minat para ilmuwan kedokteran muslim saat ini
dalam membuktikan atau meneliti warisan pada masa Rasulullah itu risan dari praktek kedokteran Rasulullah itu
sendiri. Tidak seharusnya warisan praktek kedokteran Rasulullah SAW itu di
hak-miliki oleh ilmuwan barat yang kafir. Tidak mungkin mengutuk takdir masa
lalu atas dibakar dan dibuangnya buku-buku karya ilmuwan Islam di Andalusia ke Laut Hitam. Umat Islam pernah berjaya, dan
akan berjaya kembali di masa mendatang.
Jeanny Dwi Adriyanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar