Oleh Rizky Dwi Utami dan Tri Novita Wulan Sari
Editor : dr. Yasjudan Rastrama Putra, Rika
Haeriyah, S.Ked
Departemen Kajian Kedokteran Islam dan Advokasi Dewan
Eksekutif Pusat
Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran
Indonesia.
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelaskan bahwa memilih merupakan hak warga negara untuk menyalurkan pilihannya dalam pemilu. Namun pada hakikatnya memilih bukan hanya sekadar hak, tetapi bisa menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan oleh warga negara demi terciptanya suatu pemerintahan. Meskipun demikian, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum tahun 2013, masyarakat cenderung untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu tahun 2014. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan sikap menyia-nyiakan hak tersebut akan menghasilkan suatu keburukan atau kebaikan?
Pada tanggal 9 April
2014 mendatang, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta rakyat terbesar
untuk memilih wakil legislatif disusul dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden periode 2014-2019. Setiap warga negara Republik Indonesia yang
memiliki hak suara (berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin) dapat menggunakan
hak suaranya dalam pemilu 2014. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
“Pemilihan Umum yang selanjutnya
disingkat Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dalam peraturan perundang-undangan,
penyaluran suara melalui pemilihan umum adalah hak warga negara. Negara dalam
hal ini tidak memaksa warga negara untuk menyalurkan hak pilihnya. Sampai saat
ini Indonesia telah menyelenggarakan 10 kali Pemilu secara reguler, yaitu tahun
1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009 (Soebagio, 2008;
Aryanto, 2011). Dunia internasional memuji Pemilu tahun 1999 sebagai pemilu
pertama di era reformasi dengan tingkat partisipasi politik 92,7%. Namun, jika
dilihat dari aspek partisipasi politik dalam pemilu di Indonesia, Pemilu tahun
1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih atau
mulai meningkatnya golongan putih (golput). Golongan putih adalah pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai faktor dan alasan. Golput
dipandang sebagai sikap politik rakyat yang tidak percaya lagi kepada
pemerintah (Haris, 2004). Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum tahun
2013, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu menurun hingga 20% dalam
kurun waktu 10 tahun (1999-2009). Jika penurunan terjadi secara linier,
diperkirakan partisipasi masyarakat hanya mencapai sekitar 60% pada 2014 dan
kurang dari 50% pada 2019 (Tulung, 2013). Beragam alasan dikemukakan untuk
memilih menjadi Golput mulai dari sibuk, tidak ada calon yang dikenal,
menganggap semua partai sama saja, sampai menganggap janji-janji yang
disampaikan saat kampanye hanya sekedar janji tanpa realisasi. Kemudian yang
menjadi pertanyaan adalah, sebagai seorang muslim bagaimana kita menyikapi
pemilu ini?
Pada forum ijtima’ ulama yang dilaksanakan tanggal 24-26
Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa tentang golput. Adapun fatwa tersebut adalah:
1. Pemilihan Umum dalam pandangan
Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi
syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi
umat dan kepentingan bangsa.
2. Pemimpin dalam Islam adalah
kewajiban untuk menegakkan imamah* dan imarah** dalam kehidupan
bersama.
3. Imamah dan imarah dalam
Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud
kemashlahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman
dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif
(tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali
padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Dasar penetapan fatwa MUI tersebut adalah firman Allah SWT: “Orang-orang
yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya,” (An-Nisa: 59).
Selain itu dalam Surat An-Nisa’ ayat 144, Allah SWT berfirman
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir
menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?“
Pada ayat yang mulia di atas, Allah SWT melarang umat muslim
untuk mengambil pemimpin selain orang-orang yang beriman, sehingga kepemimpinan
beralih kepada orang-orang kafir. Allah SWT bahkan mengancam akan mendatangkan
siksaan bagi orang-orang yang melalukannya. Ayat-ayat semisal ini bisa dilihat
dalam surat An-Nisa’ ayat 138-139: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik
bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah.” Pada ayat tersebut. Allah SWT menjelaskan
termasuk salah satu ciri orang munafik adalah mereka mengambil orang-orang
kafir sebagai pemimpin
Pada surat Al-Ma’idah ayat 51 : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Dan pada Surat
Al-Ma’idah ayat 57: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika
kamu betul-betul orang-orang yang beriman. “
Pada ayat yang mulia di atas Allah melarang orang-orang yang
beriman mengambil pemimpin dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani dan juga
orang-orang kafir secara keseluruhan (baik kafir ahli kitab ataupun kafir
musyrik). Sehingga semakin jelas tentang wajibnya bagi kaum muslimin untuk
memilih pemimpin/wakil yang juga seorang muslim untuk kemudian memperjuangkan
Islam dalam konteks kenegaraan.
Bagaimana jika ada yang bertanya bukankah Pemilu ini merupakan
bagian dari demokrasi dan demokrasi itu bukanlah produk Islam? Untuk menjawab
hal ini terlebih dahulu kita perlu menilik sejarah Islam. Rasulullah SAW tidak
pernah menjelaskan secara tegas bagaimana sistem negara Islam itu, demikian
juga para khulafaur rasyidin. Hal yang serupa juga kita temui tentang mekanisme
perpindahan kekuasaan dari Rasulullah SAW kepada Abu Bakar ditentukan dengan
musyawarah di Sakifah Bani Sa’idah. Kemudian berpindah kepada Umar bin Khatab
yang ditentukan dari wasiat Abu Bakar, lalu berpindah ke Utsman bin Affan yang
ditentukan berdasarkan kesepatakan panitia khusus yang beranggotakan 6 sahabat
pilihan Umar bin Khatab. Lalu berpindah ke Ali bin Abi Thalib dengan mekanisme
untuk mengisi kekosongan kekuasaan setelah Ustman bin Affan wafat, sampai
berpindah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, mekanisme perpindahan kekuasannya
didapat dengan peristiwa penyerahan kekhalifahan oleh Hasan bin Ali dalam
peristiwa Am Jama’ah (Usairi, 2003).
Dari tilikan sejarah ini, kita bisa
mengambil pelajaran bahwa Islam tidak mengatur secara tegas tentang sistem
negara dan juga sistem perpindahan kekuasaan, namun Islam memberi nilai dalam
sistemnya. Sehingga, walaupun sistem pemerintahannya adalah Kerajaan Absolut,
Republik Demokrasi, Kesultanan Konstitusional, Ke-Emiran ataupun Negara
Federasi, jika dalam sistemnya telah dijalankan nilai Islam maka ia
adalah Negara Islam. Perlu diingat bahwa demokrasi yang ada di negara kita
berbeda dengan demokrasi yang ada di negara-negara barat yaitu dengan tetap
memasukkan nilai-nilai agama dalam sistem demokrasinya. Hal ini tercermin dalam
sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemudian juga tercermin
dalam UUD 1945 Bab XI tentang Agama, Pasal 29 menyatakan: (1) Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu”. Hal ini jelas menunjukkan perbedaan sistem demokrasi di
negara kita dan di negara-negara sekuler. Selain itu, negara kita juga turut
mengurusi urusan agama dengan dibentuknya Kementerian Agama, dimana pada saat
lembaga ini dibentuk (yang pada saat itu bernama Departemen Agama), Indonesia
adalah negara pertama yang memiliki departemen/kementerian yang khusus
mengurusi urusan agama warga negaranya.
Lalu dengan sistem pemilu ini, apakah sesuai dengan ketentuan
Islam? Untuk menjawab hal ini kita perlu menganalisis lebih dalam. Dalam pemilu
ada nilai-nilai Islam yang bekerja disana, yaitu tentang pemilihan perwakilan/ahlul
hal wal aqdi, perwakilan ini bisa menyalurkan suara dan aspirasi kaum
muslim. Namun juga harus diakui bahwa dalam pemilu, ada beberapa hal yang
kurang sesuai dengan nilai Islam seperti tidak mengikuti suara terbanyak, serta
menyamakan suara ulama dengan suara orang biasa.
Walaupun demikian, sebagaimana kaidah Ma
la yudrakul kullu, fa la yudrakul kullu, apa-apa yang tidak bisa diambil
seluruhnya janganlah ditinggal keseluruhan, maka kita tahu bahwa dengan adanya
perwakilan kaum muslimin di dewan perwakilan, mereka bisa memasukkan
nilai-nilai Islam dalam konteks negara, contoh konkretnya adalah Undang-undang
Perkawinan, Undang-undang Pendidikan (yang menjelaskan semua siswa berhak
mendapat pelajaran agama sesuai dengan agama siswa tersebut dan diajar oleh
guru yang seagama dengan siswa tersebut), Undang-Undang Anti Penistaan Agama,
Undang-undang Perbankan Syariah, dst. Berbagai macam Undang-Undang di atas
tidak mungkin bisa tercapai kecuali dengan dua hal yaitu, adanya wakil kaum
muslimin di dewan perwakilan dan wakil kaum muslimin tersebut mau
memperjuangkan Islam di sana.
Sekarang, kita sudah semakin memahami bahwa penting bagi kaum
muslimin untuk menempatkan wakilnya di dewan perwakilan dan juga tentunya dalam
posisi eksekutif. Dalam konteks kenegaraan, memilih adalah hak,
sedangkan dalam konteks Islam ini adalah kewajiban sebagaimana
dijelaskan oleh MUI di atas. Lantas apa yang harus kita lakukan? Tugas kita
saat ini adalah berikhtiar untuk menemukan calon wakil kita dari partai yang
memperjuangkan Islam, dan harus kita ingat bahwa tidak ada manusia yang
sempurna.
Menjadi golput bukan lah pilihan. Lembaga legislatif dan
eksekutif akan tetap terbentuk dan terpilih dengan atau tanpa partisipasi
beberapa orang yang memilih menjadi golongan putih (golput). Jika ada kaum
muslimin memilih menjadi golput tentu saja wakil yang terpilih tidak akan bisa
sesuai dengan keinginan kaum muslimin.
Dari adanya fatwa haram MUI yang
dipaparkan diatas dan penjelasan singkat ini diharapkan partisipasi masyarakat
dalam pemilu dapat meningkat sehingga pemerintah dapat menjalankan tugasnya
dengan baik dan benar karena adanya legitimasi masyarakat secara luas. Bersikap
apatis dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan tidak akan pernah menyelesaikan
masalah, justru menambah masalah dan beban bagi semua pihak khusunya pemerintah
(Marjono, 2009).
“Jika engkau melarang orang Baik untuk maju menjadi pemimpin, lantas pemimpin seperti apa yang engkau harapakan? Dan jika orang Baik tidak mau memilih pemimpinnya maka pemimpin seperti apa yang akan terpilih?”
Daftar Pustaka:
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1, No. 1, 2011
Marjono, Riki. 2009. Hukum Golput Dalam Pemilu di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Soebagio. 2008. Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia Pembangunan Demokrasi Di Indonesia. Makara, Sosial Humaniora. Vol. 12, No. 2, Desember 2008: 82-86
Tulung, Freddy H. 2013. “Peran Humas Pemerintah dalam Masyarakat Demokrasi”. Solo: Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Usairi ahmad. 2003. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar